Pilkada tahun ini meninggalkan goresan tinta cerita tidak
hanya bagi warga Jakarta, tetapi bagi warga Indonesia. Semua mata masyarakat
seluruh Indonesia pun tersedot ke “Pertempuran” para pasangan calon (Paslon)
Agus-Sylvi, Ahok-Djarot, Anis-Sandi. Mereka seakan sedang
menyaksikan sebuah film dengan rentetan adegan. Masih teringat dibenak kita,
sebelum Pilkada dimulai pun, masyarakat disugguhkan dengan sebuah adegan dengan
tokoh utama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pernakah
terpikir oleh kita kalau selama ini kita
sedang menjadi penonton yang rela
menghabiskan semua perhatian terhadap action
‘lakon’ para aktor politik? Semua media telah mampu membius kita dengan”
serangan-serangan” yang bombastis.
Bulan April 2017 telah menjadi saksi perjalanan cerita Pilkada
DKI Jakarta yang telah meninggalkan bingkai cerita. Perjalanan para aktor panggung politik telah
mampu membius seluruh warga masyarakat Indonesia. Babak film jilid pertama dimulai saat
detik-detik berakhirnya kepemimpinan
Ahok. Masyarakat dihebohkan
dengan adegan pemberitaan penistaan agama yang dilakukan Ahok terhadap salah
satu surat Al-Maidah.
Adegan ini berhasil
menyedot perhatian tidak hanya bagi warga Jakarta, tetapi semua warga
Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang menggoreskan tinta dan memainkan
jemarinya untuk menuangkan rangkaian
kata dan berkreasi tanpa bebas dengan mengupload gambar-gambar dan video di
akun media sosial mereka.
Alhasil, tidak
jarang dari mereka membentuk “kubu”, meraka saling menonjolkan aktor favorit
mereka tanpa memperdulikan siapa yang “diserangnya” tanpa memandang apakah
teman, rekan, kekasih, atau saudara mereka. Tentunya, kondisi ini sungguh
miris.
Tidak sampai disini
saja, saat itu masyarakat pun disugguhkan dengan style para paslon, Pasangan Agus-Sylvi; Ahok-Djarot; dan Anis-Sandi. Masih teringat
di benak kita, debat antar paslon yang disiarkan di beberapa stasiun televisi
telah berhasil menyedot perhatian masyarakat.
Pada debat saat itupun, mereka dengan luwesnya dapat memainkan emosi
mereka.
Pilkada saat itu
telah mampu memberikan sensasi kalau negara kita sedang ada pilpres. Seperti yang kita ketahui, tidak hanya warga
ibu kota Jakarta, tetapi seluruh Warga Indonesia pun ikut menyaksikan alur cerita
dan acting
para lakon favorit mereka yang sangat memukau.
Kondisi ini dialami
oleh saya (penulis) saat sedang melakukan perjalanan ke luar daerah. “Mbak,
Jakarta sedang heboh yah? Bagaimana kasusnya Ahok itu?”tutur rekan saya. Tidak
hanya itu, tetapi adegan ini pun bagaikan film ‘box office” yang selalu menjadi bahan pembicaraan di tengah-tengah
masyarakat.
Adegan “film”
Pilkada ini pun bersambung pada jilid 2, tentunya masih teringat di benak kita
bahwa terdapat adegan pilkada putaran ke-2 yang mampu menjadi klimaks pada
rentetan cerita” film” pilkada.
Paslon urutan
ke-2 (Ahok-Djarot) dan Paslon urutan
ke-3 (Anis-Sandi) kembali mengeluarkan “peluru” mereka. Kondisi ini mampu
membentuk opini publik. Tidak sedikit
dari masyarakat yang menonjolkan ego mereka untuk membela para jagoan mereka.
Ketika detik-detik menjelang pilkada putaran ke-2 , atmosfer ketegangan
menunggu kepastian jawaban kegalauan dan penantian masyarakat sangat terasa.
Adengan
Baru Siap Datang Menyapa
Usai melewati
beberapa scene, akhirnya film dengan
judul “ Pilkada” telah selesai pada18
April lalu. Ada yang kecewa, sedih, dan senang saat jagoan mereka kalah atau
menang, tetapi perasaan itu hanya datang sesaat karena pertikaian,
pertengkaran, dan perdebatan diantara masyarakat pun yang selama ini terjadi sirna dalam hitungan detik
ketika para jagoan mereka sangat sportif mengakui kekalahan dan tidak sombong
ketika menang dalam pilkada kali ini.
Warga masyarakat
pun dengan legowo menerima semuanya
dan melupakan apa yang terjadi karena ini semua terjadi karena takdir-Nya.
Tidak ada pertikaian, pertengkaran, dan protes mewarnai setelah pengumuman
hasil perhitungan quick qount pilkada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar