Jumat, 25 Agustus 2017

Dahsyat, Media Sosial Menyulap Menjadi Kawan Atau Musuh?


Dari waktu ke waktu, tanpa kita sadari, kita terhanyut pada dimensi waktu yang membawa kita kedalam lingkaran perkembangan teknologi dan informasi. Masyarakat dihadapkan dengan  dunia instan, berbeda dengan tempo lalu, kita hidup di dunia “tradisional.”Dulu, kita hanya mentah-mentah menerima informasi, tanpa kita bisa menembus ruang dan waktu informasi. Dunia instan yang saat ini kita hadapi, membuat kita berselancar di dunia “maya.” Mudahnya masyarakat memainkan peranan untuk menunjukkan sebuah eksistensi. Tidak jarang dari mereka yang tidak menggunakan hati naluri, mereka menebar isu yang menyesatkan. Maukah kita menggandaikan esksistensi kita dengan isu murahan?

Dunia maya yang saat ini sedang mengalir deras di tengah-tengah masyarakat, memicu “jejamuran” media sosial. Tanpa kita sadari, media sosial telah “meracuni” kita. Tidak sedikit dari kita yang menghabiskan waktu kita melalui media sosial.

Hampir setiap hari. Bahkan setiap detik dan menit, masyarakat mengupdate informasi baik berupa tulisan dan gambar di media sosial mereka.  Seakan-akan media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan kita tidak dapat dipisahkan.

Di era pemerintahan, media sosial pun dapat dijadikan sebagai startegi “marketing” yang dapat membentuk serta membangun reputasi. Tetapi kondisi ini akan berbanding terbalik,  jika muncul suatu hatters atau hoax yang dapat mempengaruhi suatu reputasi instansi atau individu yang bersangkutan.

Perkembangan media sosial menandakan bahwa, realitas perkembangan budaya masyarakat telah beralih dari konvesional ke  modern. Media sosial dianggap mampu mendistribusikan  informasi dan memblow up suatu isu sehingga dengan cepatnya isu bergulir ke tengah masyarakat.  

Media sosial pun dapat dijadikan sebagai kontrol sosial. Seperti yang ada di media sosial, akhir-akhir ini, kita diramaikan dengan beberapa viral terkait kunjungan Sekjen Partai Komunis Vietnam ke Indonesia. Kunjungan yang dijadwalkan   22, 23, dan 24 Agustus menuai beberapa opini publik yang telah berhasil memunculkan fitnah dan propaganda di berbagai media sosial dengan mencampuradukan kunjungan ini dengan masalah ideologi politik yang dianut Vietnam.

Kita pun dapat menggandeng media sosial untuk menggempur hoax dengan hitungan menit, bahkan detik serta memantau sejauh mana perkembangan isu atau hoax .

Media sosial pun dapat digunakan untuk membentuk pencitraan dengan dibuktikan dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bahwa kementerian/lembaga telah melakukan viral program pemerintah, hal ini terlihat ketika pada event IORA, dari tercatat 150.8 Juta (7.3 juta Akun) hanya 46 Kementerian/ Lembaga yang memviralkan program ini , sementara ketika Tafisa, tercatat  27 kementerian/ lembaga dari.47,2 Juta.

Di balik itu semua, tidak sedikit dari masyarakat yang mengatakan ‘hati-hati menggunakan media sosial karena bisa jadi media sosial “harimau-mu.”Pernahkah terlintas di benak kita betapa dahsyatnya media sosial menggilir kita ke dunia yang “benar’ atau sebaliknya ke dunia yang “salah”?

Media Sosial, “Musuh’ atau ‘Kawan?’
Akhir-akhir ini, kita dihebohkan dengan berbagai informasi yang viral di beberapa media sosial yang memuat unsur provokasi, seperti kunjungan Sekjen Partai Komunis Vietnam ke Indonesia. Kunjungan ini menuai beberapa opini dari Netizen yang mengaitkan dengan paham ideologi yang telah berhasil menghasut publik terhadap pemerintahan kita. Beberapa awam berspekulasi bahwa langkah kita menerima kunjungan tersebut dapat melahirkan kembali laten komunis di negeri ini. 

Pernahkah terlintas di benak kita saat menerima informasi tersebut bahwa Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif? Politik bebas aktif yang memberikan arti bagi Indonesia  bahwa   bebas bergaul dengan negara mana saja, dan aktif menjaga perdamaian dunia.

Sebagai bagian dari ASEAN, tentunya dengan semangat perdamaian abadi yang tertuang UUD 45, Indonesia sudah selayaknya menerima kunjungan negara tetangga dengan baik dan tebuka.   Bahkan dengan Malaysia dan Singapura yang pernah berkonfrontasi dengan kita dimasa lalu pun, tetap kita temani. Kenapa tidak dengan Vietnam yang notabene tidak pernah punya masalah apapun dengan Indonesia sampai hari ini?

Belum lama kita dihebohkan dengan viral kunjungan kunjungan Sekjen Partai Komunis Vietnam, kita “diusilkan” dengan kejadian gambar bendera Indonesia yang terbalik di buku panduan SEA Games 2017 pun menjadi sorotan netizen di medsos, mereka dengan leluasanya memviralkan opini mereka di medsos.

Kondisi ini menggambarkan betapa dahsyatnya pengaruh media sosial telah membius masyarakat dan “mempoles” seseorang memainkan peran mau jadi apakah mereka?

Melalui media sosial, mereka bebas mengekspresikan jiwa, pikiran, dan pandangan mereka. Media sosial dijadikan wadah untuk mengkreasikan dan mengemas informasi.

Di balik itu semua, melalui media sosialpun  dapat berinteraksi dengan audience-fans/followers lewat posting yang engaging utuk mengundang tanggapan/respons, memahami para influencer (key opinion leader-KOL) di twitter, berkomunkasi dengan konsumen secara langsung (egaliter-tanpa batas), meningkatkan profile online brand dengan menegaskan keahlian di bidangnya, dan menciptakan traffic dengan memposting konten dengan link ke website dan blog perusahaan.

Tidak sedikit  dari kita yang menggunakan media sosial, sebagai ruang terbuka untuk “memperkaya” diri mencari peluang bisnis dengan mengindahkan apakah bisnis yang dilakukan melalui jalur “kanan” atau “kiri.’

Banyak dalang di balik media sosial yang mampu memainkan kata, gambar, dan video sesuka mereka untuk membuat atau merancang adegan “film’ untuk menarik perhatian masyarakat yang nantinya dapat menghipnotis masyarakat untuk medukung apa yang diviralkan oleh para dalang media sosial.

Kita, sebagai masyarakat tanpa disadari, sangat mudah terbius dari “keliaran” para dalang, tetapi sadarkah kita jika “keliaran-keliaran’ yang diviralkan di media sosial dapat membawa kita kearah negatif?

 Terbongkarnya, Dalang Hoax ‘Saracen”
Baru-baru ini di beberapa media massa, baik cetak, elektronik, dan online, mengungkapkan terbongkarnya sindikat bayaran ‘Saracen” yang menebarkan Hoax yang telah menyesatkan masyarakat di beberapa media sosial.

Saat informasi itu muncul ke permukaan, tentunya kita menanyakan “mengapa mereka tega menggadaikan kesatuan dan persatuan masyarakat Indonesia dengan sebuah bayaran? Apa Mereka telah tidak mempunyai naluri demi untuk memperkaya diri, mereka rela menebar ‘Hoax” yang dapat meracuni pikiran masyarakat dan taruhannya sebuah kerukunan dan kesatuan.

Apabila kita menengok kebelakang, kelompok yang menamakan “Saracen” berhasil diungkap oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal POLRI, mereka selama ini menebarkan isu SARAdi tengah masyarakat, seperti yang dilansir https://nasional.tempo.co/.  Salah satu anggota yang ditangkap berjenis kelamin perempuan. Saracen sendiri telah beroperasi sejak 2015  yang tmemiliki beberapa media sosial dan laman daring sendiri.

Penangkapan terhadap kelompok “Saracen” membuktikan realita saat ini, bahwa  fenomena perilaku masyarakat telah mengalami perubahan akibat adanya pergeseran budaya “instan.” Mereka dengan mudahnya menggunakan “dunia maya” sebagai efek perkembangan teknologi informasi untuk merekayasa data dan informasi serta menebar “virus” kepada masyarakat.

Melihat kondisi ini, memperlihatkan bahwa media sosial terkadang mengandung unsur pertengkaran, saling hujat-menghujat, saling serang, dan saling maki. Bahkan tahun 2018-2019, kita pun dihadapkan dengan kompetensi kondisi politik yang terus memanas.

Tidak dipungkiri bahwa saat ini kita mau tidak mau dihadapkan dengan dunia maya, salah satunya melalui media sosial. Media sosial bagaikan gurita yang melilit kita. Bahkan, media sosial pun bisa menjadi sebuah Harimau yang sewaktu-waktu bisa menerkam kita.

 Sudah bijakkah kita menggunakan  media sosial selama ini? Maukah kita memperkaya diri dan mempertaruhkan eksistensi kita dengan menggadaikan persatuan dan kesatuan bangsa?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar