Saat ini masyarakat seringkali
menyodorkan pertanyaan mengapa pada musim kemarau masih saja terjadi hujan? Banyak
tanda tanya yang menyelimuti pikiran dan benak masyarakat. Tak sedikit
masyarakat yang paham dan mengerti mengapa kondisi ini bisa terjadi. Ada hal
yang mungkin kita lupakan, Kita bisa mengatur perilaku petani dan masyarakat,
tetapi ada yang tidak bisa kita atur yaitu alam. Jika kita mengelupas “alam”,
banyak faktor yang mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di alam ini,
misalnya dinamika cuaca dan iklim. Sadarkah kita bahwa kita berada di tengah
suatu ‘sistem alam’ yang sering berubah?
Berdasarkan monitoring BMKG dan release yang dikeluarkan pada 14
Maret yang lalu, sebagian wilayah Indonesia memasuki musim kemarau mulai bulan Mei dan Juni
2016 yaitu sebanyak 66 %.
Seperti release yang dikeluarkan Maret lalu oleh BMKG, bahwa
bahwa Daerah yang telah memasuki musim kemarau sejak bulan Februari 2016
meliputi pesisir timur Sumatera Utara dan Riau (Dumai, Bengkalis, Siak, RoHil
dan Meranti).
Sementara daerah yang perlu diwaspadai, yaitu: Riau bagian Timur, Sumatera Utara bagian Timur, dan Sulawesi Selatan bagian Tengah karena
di prediksi Awal Musim Kemarau maju 2-3 Dasarian dengan Sifat Hujan di Bawah
Normal.
Seperti yang kita ketahui bahwa kita tidak bisa mengatur
perilaku iklim dan cuaca, maka sejak bulan April hingga saat ini beberapa
wilayah Indonesia masih terjadi hujan. Kondisi alam ini pun menyedot banyak
perhatian publik baik dari masyarakat, maupun media massa.
Pada periode Juni, seharusnya dari sebagian wilayah
Indonesia, mulai dari Sumatera bagian Barat, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi
mengalami curah hujan menengah 100-300 mm. Sementara untuk bagian Timur,
Kepulauan Nusa Tenggara dan Papua bagian selatan mencapai curah hujan rendah
atau menengah 50-150 mm. Tetapi pada kenyataan ini, pada periode musim kemarau saat
ini terjadi hujan.
Jika kita mengelupas gangguan cuaca
secara global dapat dipenyaruhi oleh berbagai faktor yakni La- Nina dan
El-nino, Dippole Mode, Fenomena Ossiliasi Madden_Julian (MJO), serta Sea Surface Temperature (SST).
Kita mengerti dan paham bahwa gangguan
cuaca dapat menimbulkan beberapa perilaku cuaca yang menyimpang seperti yang
kita jumpai di headline surat kabar, yaitu: ketinggian gelombang laut, dan
angin kencang.
Benarkah La Nina Penyebab Terjadinya
Hujan Pada Musim Kemarau?
Pada pertengahan 2016, tak jarang kita temui media massa cetak, elektronik,
dan online yang mengangkat kondisi iklim di Indonesia menjadi headline news di media massa cetak,
elektronik, dan online. “Mengapa masih terjadi hujan, padahal saat ini
seharusnya musim kemarau?” pertanyaan itu yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat.
Kita pun sering mendengar pertanyaan Apakah
fenomena La Nina Lemah tahun 2016 akan bertahan dan menambah “basah” wilayah
Indonesia?
Sebelum kita mengelupas pertanyaan yang ada di tengah-tengah
masyarakat, sejenak kita tengok kebelakang kejadian pada tahun 2010, kita masih
ingat akan fenomena la-nina. Di tahun 2010, la-nina pada intensitas sedang dan
kemudian melemah menjadi kondisi ENSO Netral dan kembali menjadi La-Nina lemah
pada pertengahan 2011.
La-Nina (Memanasnya suhu muka laut di wilayah Perairan
Indonesia), Fenomena ini berdampak terhadap peningkatan curah hujan di wilayah). Tetapi, kita tidak
hanya terfokus pada la-nina saja, banyak faktor yang mempengaruhi dinamika
atmosfer.
Berdasarkan monitoring BMKG, Sejak
April lalu hingga saat ini La-Nina dalam skala lemah (-), tetapi suhu muka laut
di wilayah Perairan Indonesia hangat sehingga menimbulkan penguapan yang akan
menimbulkan potensi hujan. Tak hanya itu, tetapi jika dilihat pada MJO, Kondisi
ini aktif di Perairan Indonesia bagian timur
dan berlanjut hingga pertengahan Agustus.
Sementara jika dilihat dari
pergerakkan angin monsoon, saat ini angin monsoon Australia dalam kondisi
lemah. Kondisi inilah yang mengakibatkan beberapa wilayah terguyur hujan.
Pada Agustus I sebanyak 253 ZOM (74%) baru
masuk musim kemarau, sedangkan 89 ZOM (26%) belum masuk musim kemarau, seperti
Jawa, Bali, NTB, Sulawesi, dan Maluku. Sementara itu, ada beberapa wilayah yang
tidak mendapatkan musim kemarau, seperti Lebak Bagian Tengah dan Selatan, Bogor
Selatan Bagian Timur, dan Sukabumi Bagian Barat.
Kemarau tahun ini lebih basah
Berdasarkan analisis curah
hujan hingga pada periode Juli 2016 menunjukkan terjadiya anomali hujan di
sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi
“Lebih Basah” pada tahun 2016 dari situasi normal yang terjadi pada
periode bulan yang sama, atau yang sering kita dengar “Kemarau Basah”. Kondisi
inilah telah sebelumnya dan disampaikan
melalui Jumpa Pers pada tanggal 3 Juni
2016.
Pada bulan Juni 2016, BMKG
juga melaporkan bahwa beberapa wilayah (27.2%) hingga saat ini belum memasuki
musim kemarau dan masih terus didera oleh curah hujan yang tinggi. Situasi ini
menegaskan terjadinya “kemarau basah” atau sering dikenal pula “wet
spell”. Kondisi tersebut lebih
disebabkan oleh pengaruh:
§
Tidak kuatnya
Monsun Australia (Angin Timuran);
§
Kondisi
SST di perairan Indonesia yang lebih hangat;
Sementara Berdasarkan montoring BMKG, pada Mei dan Juni 2016
titik panas disejumlah wilayah sudah mulai menurun, tetapi pada Agustus 2016,
titik panas ada di sejumlah wilayah Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera
Selatan. Kondisi ini tidak separah dibandingkan tahun 2015. Tidak hanya itu,
tetapi berdasarkan pemantauan BMKG, perkembangan Hot Spot pada September,
Oktober, November, Desember hampir tidak ada.
Hingga
dasarian Agustus I - 2016, sebanyak 253 ZOM (74%) sudah memasuki musim kemarau.
Sementara sebanyak 89 ZOM (26%) yang belum masuk musim kemarau
/ masih mengalami musim hujan di periode 2015/16 diantara ZOM tersebut terdapat 12 ZOM diprakiran
tidak mengalami kemarau (hujan sepanjang tahun 2016).
Andi Eka menuturkan Awal Musim Hujan
2016/17 di sebagian besar wilayah Indonesia akan terjadi pada Agustus –
November 2016 (92,7 %).
Kita perlu meningkatkan
kesiapan menghadapi musim hujan karena kondisi ini akan membawa dampak negatif
dan postif ke berbagai sektor. Dampak positif, yaitu meningkatnya potensi luas
tanam sawah, meningkatkan frekuensi tanam, ketersediaan air untuk pertanian dan
waduk. Sedangkan beberapa dampak negatifnya antara lain: Peningkatan potensi
banjir dan longsor, penurunan produksi kopi, tambakau, garam, tanaman buah
tropika, dan tingginya gelombang mengganggu kegiatan nelayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar