Setelah kejadian
bencana gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, masyarakat
Indonesia dan seluruh dunia sadar akan pentingnya peringatan dini terhadap
bencana agar kita dapat mengantisipasi akan dampak bencana terhadap keseimbangan
lingkungan alam yang nantinya berdampak terhadap kelangsungan hidup manusia dan
ekosistem lingkungan.
Perlu yang kita ketahui bahwa bencana gempa bumi dan tsunami
yang terjadi pada tanggal 26 Desember telah membuka kesadaran manusia bahwa
bencana dapat merenggut nyawa manusia dan harta benda. Peristiwa ini menjadi
tonggak pergerakkan pembaruan bagi Indonesia dalam menangani bencana. Salah
satunya lahirnya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan
lahirnya Badan Penanggulang Bencana atau BNPB.
Bencana Mengintai
Kehidupan
Setiap tahunnya, bencana menjadi tamu yang selalu datang ke
Indonesia. Sejarah mencatat, sejak berdiri bangsa Indonesia, negara kita telah
mengalami semua jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah
longsor, puting beliung hingga kekeringan. Selain bencana alam, Indonesia juga
sering terjadi bencana yang diakibatkan ulah manusia, misalnya kecelakaan
hingga kebakaran yang menjadi salah satu sorotan pemberitaan di media massa.
Menyadari bahwa negara kita rawan bencana, maka pada tahun
2007 Pemerintah mengeluarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Dalam UU ini dijelaskan bahwa bencana adalah peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan manusia baik yang
disebabkan oleh faktor alam atau non alam maupun manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. (www.google.com).
Sementara itu, bencana non alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yaitu gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit.
Selain itu, bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia seperti
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat dan terror. (www.google.com).
Datangnya bencana tidak bisa diprediksi atau diramal. Selain
itu, bencana dapat memakan jumlah korban dan harta kekayaan. Penderitaan akibat
bencana tidak sampai disini. Hal ini
diperparah oleh bantuan minim dan keterlambatan datangnya bantuan.
Kita menyadari bahwa bencana memang tak bisa kita hindari,
tetapi kita bisa meminimalisir jumlah korban dan kerugian harta benda. Inginkah kita jika bencana yang datang tidak
memakan jumlah korban yang banyak?tentunya perlu sikap mitigasi dan adaptasi
terhadap bencana.
Bencana Datang,
Komunikasi Parah
Bencana tak hanya memakan jumlah korban jiwa dan kehilangan
harta benda, tetapi bencana pun dapat merusak sistem komunikasi, hal ini dapat
mengakibatkan bencana komunikasi. Salah satu tanda yang menggambarkan adanya
bencana komunikasi yaitu tidak adanya sambungan komunikasi dengan sumber-sumber
informasi tentang informasi bencana
meliputi: lokasi, penyebab, dan jumlah
korban dari bencana.
Belajar dari pengalaman gempa dan tsunami di Aceh pada tanggal
25 Desember 2004 , jaringan komunikasi terputus . Hampir tidak ada informasi
terkait tentang lokasi mana yang terparah, korban yang meninggal dan korban selamat. Dari sinilah, nantinya dapat
menimbulkan krisis komunikasi yang berkepanjangan.
Kondisi inilah yang nantinya menimbulkan keadaan yang tidak
stabil. Masyarakat tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Banyak diantara
mereka yang berlarian mencari keluarga, dan kerabat mereka. Selain itu, keluarga mereka
yang menetap di luar lokasi bencanapun
mengalami kebingungan kemana mereka mendapatkan informasi tentang kondisi dan
keadaan keluarga mereka.
Hal ini dapat lebih parah jika terdapat beberapa faktor,
yaitu: Pertama, fasilitas komunikasi
belum memadai, belum merata. Kedua, Tidak
adanya jaminan komunikasi umum dari gangguan dan Ketiga, Manajemen komunikasi bencana yang tidak disiapkan.
Komunikasi sangat diperlukan dalam penanganan bencana. Sesuai
UU 24 Tahun 2007 menjelaskan adanya tiga tahapan penanganan bencana, yaitu Pra
bencana yang terdiri atas dua kondisi, yaitu dalam situasi yang tidak terjadi
bencana dan terdapat potensi terjadinya bencana (kesiapsiagaan, peringatan
dini, dan mitigasi).
Kemudian tahap tanggap darurat. Pada tahap ini ditempuh
beberapa langkah, yaitu: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumber daya; penentuan status keadaan darurat bencana; penyelamatan
dan evakuasi masyarakat, pemenuhan kebutuhan dasar; perlindungan terhadap
kelompok rentan; dan pemulihan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap berikutnya adalah Pasca bencana. Tahap ini melakukan
rehabilitasi terhadap masyarakat korban bencana dan rekonstruksi dengan pembangunan
kembali fasilitas dan infrastruktur.
Tak hanya sikap yang diperlukan dalam menghadapi bencan, tapi
komunikasi merupakan suatu alat vital ketika bencana datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar