Dari waktu ke waktu, tanpa kita
sadari, kita terhanyut pada dimensi waktu yang membawa kita kedalam lingkaran
perkembangan teknologi dan informasi. Masyarakat dihadapkan dengan dunia instan, berbeda dengan tempo lalu, kita
hidup di dunia “tradisional.”Dulu, kita hanya mentah-mentah menerima informasi,
tanpa kita bisa menembus ruang dan waktu informasi. Dunia instan yang saat ini
kita hadapi, membuat kita berselancar di dunia “maya.” Mudahnya masyarakat
memainkan peranan untuk menunjukkan sebuah eksistensi. Tidak jarang dari mereka
yang tidak menggunakan hati naluri, mereka menebar isu yang menyesatkan. Maukah
kita menggandaikan esksistensi kita dengan isu murahan?
Dunia maya yang saat ini sedang mengalir deras di
tengah-tengah masyarakat, memicu “jejamuran” media sosial. Tanpa kita sadari,
media sosial telah “meracuni” kita. Tidak sedikit dari kita yang menghabiskan
waktu kita melalui media sosial.
Hampir
setiap hari. Bahkan setiap detik dan menit, masyarakat mengupdate informasi baik berupa tulisan dan gambar di media sosial
mereka. Seakan-akan media sosial telah
menjadi bagian dari kehidupan kita tidak dapat dipisahkan.
Di
era pemerintahan, media sosial pun dapat dijadikan sebagai startegi “marketing”
yang dapat membentuk serta membangun reputasi. Tetapi kondisi ini akan
berbanding terbalik, jika muncul suatu hatters atau hoax yang dapat mempengaruhi suatu reputasi instansi atau individu
yang bersangkutan.
Perkembangan
media sosial menandakan bahwa, realitas perkembangan budaya masyarakat telah
beralih dari konvesional ke modern. Media
sosial dianggap mampu mendistribusikan
informasi dan memblow up suatu
isu sehingga dengan cepatnya isu bergulir ke tengah masyarakat.
Media
sosial pun dapat dijadikan sebagai kontrol sosial. Seperti yang ada di media
sosial, akhir-akhir ini, kita diramaikan dengan beberapa viral terkait kunjungan
Sekjen Partai Komunis Vietnam ke Indonesia. Kunjungan yang dijadwalkan 22, 23, dan 24 Agustus menuai beberapa
opini publik yang telah berhasil memunculkan fitnah dan propaganda di berbagai
media sosial dengan mencampuradukan kunjungan ini dengan masalah ideologi
politik yang dianut Vietnam.
Kita pun dapat
menggandeng media sosial untuk menggempur hoax
dengan hitungan menit, bahkan detik serta memantau sejauh mana perkembangan isu
atau hoax .
Media sosial pun
dapat digunakan untuk membentuk pencitraan dengan dibuktikan dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bahwa
kementerian/lembaga telah melakukan viral program pemerintah, hal ini terlihat
ketika pada event IORA, dari tercatat 150.8 Juta (7.3 juta Akun) hanya 46
Kementerian/ Lembaga yang memviralkan program ini , sementara ketika Tafisa,
tercatat 27 kementerian/ lembaga
dari.47,2 Juta.
Di
balik itu semua, tidak sedikit dari masyarakat yang mengatakan ‘hati-hati
menggunakan media sosial karena bisa jadi media sosial “harimau-mu.”Pernahkah
terlintas di benak kita betapa dahsyatnya media sosial menggilir kita ke dunia
yang “benar’ atau sebaliknya ke dunia yang “salah”?
Media Sosial, “Musuh’ atau ‘Kawan?’
Akhir-akhir
ini, kita dihebohkan dengan berbagai informasi yang viral di beberapa media
sosial yang memuat unsur provokasi, seperti kunjungan Sekjen Partai Komunis
Vietnam ke Indonesia. Kunjungan ini menuai beberapa opini dari Netizen yang
mengaitkan dengan paham ideologi yang telah berhasil menghasut publik terhadap
pemerintahan kita. Beberapa awam berspekulasi bahwa langkah kita menerima
kunjungan tersebut dapat melahirkan kembali laten komunis di negeri ini.
Pernahkah
terlintas di benak kita saat menerima informasi tersebut bahwa Indonesia
menganut politik luar negeri bebas aktif? Politik bebas aktif yang memberikan
arti bagi Indonesia bahwa bebas
bergaul dengan negara mana saja, dan aktif menjaga perdamaian dunia.
Sebagai
bagian dari ASEAN, tentunya dengan semangat perdamaian abadi yang tertuang UUD
45, Indonesia sudah selayaknya menerima kunjungan negara tetangga dengan baik
dan tebuka. Bahkan
dengan Malaysia dan Singapura yang pernah berkonfrontasi dengan kita dimasa
lalu pun, tetap kita temani. Kenapa tidak dengan Vietnam yang notabene tidak
pernah punya masalah apapun dengan Indonesia sampai hari ini?
Belum
lama kita dihebohkan dengan viral kunjungan kunjungan Sekjen Partai Komunis
Vietnam, kita “diusilkan” dengan kejadian gambar bendera Indonesia yang terbalik di buku panduan SEA Games 2017 pun
menjadi sorotan netizen di medsos, mereka dengan leluasanya memviralkan opini
mereka di medsos.
Kondisi ini menggambarkan betapa
dahsyatnya pengaruh media sosial telah membius masyarakat dan “mempoles”
seseorang memainkan peran mau jadi apakah mereka?
Melalui media sosial, mereka bebas
mengekspresikan jiwa, pikiran, dan pandangan mereka. Media sosial dijadikan
wadah untuk mengkreasikan dan mengemas informasi.
Di balik itu semua, melalui media sosialpun
dapat berinteraksi dengan audience-fans/followers lewat posting yang engaging utuk mengundang tanggapan/respons, memahami para influencer (key opinion leader-KOL) di
twitter, berkomunkasi dengan konsumen secara langsung (egaliter-tanpa batas),
meningkatkan profile online brand
dengan menegaskan keahlian di bidangnya, dan menciptakan traffic dengan memposting konten dengan link ke website dan blog perusahaan.
Tidak sedikit dari kita yang menggunakan media sosial,
sebagai ruang terbuka untuk “memperkaya” diri mencari peluang bisnis dengan
mengindahkan apakah bisnis yang dilakukan melalui jalur “kanan” atau “kiri.’
Banyak dalang di balik media sosial yang
mampu memainkan kata, gambar, dan video sesuka mereka untuk membuat atau
merancang adegan “film’ untuk menarik perhatian masyarakat yang nantinya dapat
menghipnotis masyarakat untuk medukung apa yang diviralkan oleh para dalang
media sosial.
Kita, sebagai masyarakat tanpa disadari,
sangat mudah terbius dari “keliaran” para dalang, tetapi sadarkah kita jika
“keliaran-keliaran’ yang diviralkan di media sosial dapat membawa kita kearah
negatif?
Terbongkarnya, Dalang Hoax ‘Saracen”
Baru-baru ini di beberapa media massa,
baik cetak, elektronik, dan online, mengungkapkan terbongkarnya sindikat
bayaran ‘Saracen” yang menebarkan Hoax yang telah menyesatkan masyarakat di
beberapa media sosial.
Saat informasi itu muncul ke permukaan,
tentunya kita menanyakan “mengapa mereka tega menggadaikan kesatuan dan
persatuan masyarakat Indonesia dengan sebuah bayaran? Apa Mereka telah tidak
mempunyai naluri demi untuk memperkaya diri, mereka rela menebar ‘Hoax” yang
dapat meracuni pikiran masyarakat dan taruhannya sebuah kerukunan dan kesatuan.
Apabila kita menengok kebelakang, kelompok yang
menamakan “Saracen” berhasil diungkap oleh Direktorat
Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal POLRI, mereka selama ini menebarkan
isu SARAdi tengah masyarakat, seperti yang dilansir https://nasional.tempo.co/. Salah satu anggota yang ditangkap berjenis
kelamin perempuan. Saracen sendiri telah beroperasi sejak 2015 yang tmemiliki beberapa media sosial dan
laman daring sendiri.
Penangkapan terhadap kelompok “Saracen”
membuktikan realita saat ini, bahwa
fenomena perilaku masyarakat telah mengalami perubahan akibat adanya
pergeseran budaya “instan.” Mereka dengan mudahnya menggunakan “dunia maya”
sebagai efek perkembangan teknologi informasi untuk merekayasa data dan
informasi serta menebar “virus” kepada masyarakat.
Melihat kondisi ini, memperlihatkan
bahwa media sosial terkadang mengandung unsur pertengkaran, saling
hujat-menghujat, saling serang, dan saling maki. Bahkan tahun 2018-2019, kita
pun dihadapkan dengan kompetensi kondisi politik yang terus memanas.
Tidak dipungkiri bahwa saat ini
kita mau tidak mau dihadapkan dengan dunia maya, salah satunya melalui media
sosial. Media sosial bagaikan gurita yang melilit kita. Bahkan, media sosial
pun bisa menjadi sebuah Harimau yang sewaktu-waktu bisa menerkam kita.
Sudah bijakkah kita menggunakan media sosial selama ini? Maukah kita
memperkaya diri dan mempertaruhkan eksistensi kita dengan menggadaikan
persatuan dan kesatuan bangsa?