Selasa, 20 Oktober 2015

BMKG MEMBERANGKATKAN 6 PENELITI KE KUTUB SELATAN DAN JAYAWIJAYA

Akhir-akhir ini wilayah kita sering merasakan suhu yang ekstrim kadang merasakan panas dan kadang kita pun merasakan suhu yang drop. Suhu panaspun perah dirasakan di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk wilayah Ibukota yang pernah diterjang suhu yang tinggi, terlebih saat musim kemarau. Tak hanya itu, pergeseran musim pun juga terjadi. Musim seolah-olah sudah tidak menentu. Kondisi ini disebabkan oleh adanya peningkatan emisi karbon  dari aktivitas kita sebagai manusia. 
Bumi yang kita pinjak sudah tidak ramah dengan kita. Kondisi inilah yang seharusnya dijadikan cerminan dari apa yang telah kita berbuat terhadap alam kita.Kearifan kita terhadap alam sudah tidak ada lagi nilainya. Manusia menjadikan alam sebagai objek keserakahan manusia.
Puncak gunung es puncak Jayawijaya akan menjadi sebuah cerita lama,  sudah tidak ada lagi salju abadi. Kondisi ini terbukti dari kesaksian seorang pendaki gunung `seperti yang dikatakan Irawan, salah satu pendaki dari Tim 7 Summit Expedition pada 2010 sampai 2012 lalu yang dikutip pada laman merdeka.
Menurut kesaksiannya, Irwan menuturkan bahwa dirinya yang pernah mendaki Puncak Cartenz. Keprihatinan itu muncul tatkala pada pendakian 2008 dia melihat salju abadi telah hilang sepanjang 200 meter dari lidah gletser di Puncak Cartensz bagian timur. "Sudah bergeser 200 meter dari lidah gletser,seperti yang dikutip pada lama Merdeka.
Salah satu pendaki, Dwi yang turut pernah mendaki puncak Cartenz yang saat itu mendaki bersama Kepala Bdang Iklim dan Kualitas Udara, Dodo Gunawan mengutarakan bahwa ketebalan es di Puncak Cartenz telah mengalami penipisan.
Penipisan balutan es yang menyelimuti puncak gunung tersebut membuktikan bahwa bumi kita kian lama semakin rusak dan panas. . Mungkin kedepannya sudah tidak ada julukan lagi es abadi.
Suhu semakin lama semakin panas, kondisi ini merupakan akibat dari ulah manusia  yang sudah tak lagi ramah dengan lingkungan. Mau dan relakah kita berdiam diri membiarkan alam kita menjadi rusak?

BMKG Melepas 4 Peneliti Ke Kutub Selatan & Puncak Jaya Papua

            Kepala BMKG, Dr. Andi Eka Sakya, M. Eng melepas 4 peneliti untuk melakukan ekspedisi ke Kutub Selatan  dan puncak Jayawijaya. Pada ekspedisi ke Kutub Selatan untuk memahami pengaruh laut terhadap iklim dan cuaca, sementara ekspedisi ke Puncak Jayawijaya untuk memahami dampak pemanasan global terutama di wilayah torpis (Khatulistiwa).
            Enam peneliti yang melakukan  kedua ekpedisi tersebut adalah: Wido Hanggoro dan Kadarsah yang akan melakuan ekpedis ke Stasiun Meteorologi Davis di Kutub Selatan bersama dengan Tim Ekspedisi Bureai of Meteorology (BoM)-Australian Antarctc Division (AAD). Empat nama lagi yang melakukan ekpedisi ke Puncak Jayawijaya adalah Dyah Lukita Sari, Ferdikka A. Harapak, Najib Habibie, dan Donny Kristianto.
Kepala BMKG mengutarakan bahwa kedua ekspedisi tersebut  dapat dijadikan masukan yang berharga bagi rangkaian penelitian tahun 2017-2019 yang merupakan Tahun Benua Maritim (Year of Maritime Continent-YMC) dan Year of Polar Initiative di Antartika. Masukan tersebut merupakan batu-tapak pemahaman hubungan tekoneksi klim antara wilayah tropis dengan antartika.
            Kegiatan ekspedisi ini pun mendukung program Joko Widodo  di dunia kemaritiman karena mengingat Indonesia merupakan wilayah lautan lebih dari 70%, dari situasi inilah pemerintah mentikberatkan pada program kemaritiman .
            Kita paham bahwa Indonesia merupakan wilayah yang unik, mengapa?Ya, karena Indonesia dikelilingi lautan dan dihiasi teluk dan semenanjung. Tak hanya itu, Indonesia pun memiliki gunung dan pergunungan yang berjejer. Kondisi inilah yang membuat wilayah Indonesia menjadi wilayah pertemuan angin.
            Wilayah Indonesia sering didominasi oleh Sirkulasi monsoon dingin Asia (Oktober-Maret) dan Sirkulasi monsoon panas Australia (April-September). Kedua sirklusi tersebut sangat berpengaruh pada faktor iklim di Indonesia.
            Posisi strategis geografi Indonesia menjadi kunci pemahaman dinamika iklim dan geografi Indonesia menjadi kunci pemahaman dinamika iklim dan perubahannya.  Langkah ini menjadi bagian dari BMKG untuk melakukan penelitian sebagai upaya pelayanan meteorologi, klimatologi, dan geofisika serta peningkatan SDM Indonesia.











Jumat, 09 Oktober 2015

Kopi Arabica, Robusta, Luwak Aceh Sensasi Berbeda



Jika kita mengatakan sebuah kata Kopi, timbul suatu imajinasi kenikmatan citra rasa dan aroma di benak kita. Minuman ini hampir disukai di berbagai kalangan usia, gender, dan profesi. Saat ini, banyak beberapa warkop (warung kopi), kedai kopi, dan café yang menjajakan aneka dan jenis kopi. Tak sedikit masyarakat yang nongkorong sambil menikmati kopi. Mereka rela membuang waktu atau bahkan uang mereka hanya untuk dapat meneguk kenikmatan rasa kopi.

Kita sebagai warga negara Indonesia patut bersyukur karena kita berada di tanah yang kaya akan hasil alamnya. Hasil alam itu kita dapatkan dari lautan yang luas, perut bumi yang kaya akan sumber daya mineral, pertanian yang luas dan tak lupa kita juga terdapat dataran tinggi yang cocok untuk perkebunan. 

Salah satu dataran tinggi di Indonesia yang dijadikan perkebunan adalah dataran tinggi “Tanah Gayo” Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Bagi penggemar kopi sudah dapat menebak apa hasil perkebunan dari Tanah Gayo.  Ya, Kopi Arabika (Kopi Gayo) dan Kopi Robusta (Kopi Ulee Kareeng)  merupakan dua jenis Kopi Gayo.

Aceh merupakan salah satu wilayah penyumbang pundi-pundi devisa negara, Tak jarang petani –petani kopi di Aceh dapat mengjasilkan biji-biji kopi yang diekspor ke luar negeri.

Tak heran jika kita mengunjungi kota ini, banyak kedai kopi berjejer menjajakan kopi. Tradisi minum kopi ini telah berkembang turun temurun seiring perkembangan Aceh sebagai salah satu daerah produsen kopi kelas dunia. Sejak era kolonial Belanda hingga sekarang, setidaknya ada dua daerah sentra produksi kopi di Aceh, yaitu Ulee Kareng dan Gayo. Kopi Ulee Kareng yang termasuk jenis kopi Robusta dihasilkan dari Kecamatan Ulee Kareng.


Kopi Gayo yang termasuk jenis kopi Arabika  berhasil mengangkat nama Aceh di mata dunia, kopi ini termasuk kelas kopi premium. Kedua jenis kopi inilah yang mengharumkan nama Aceh sebagai salah satu produsen kopi terbaik di Tanah Air yang merajai 40% pasar dalam negeri.

Di kedai-kedai kopi ini, umumnya kopi ditawarkan dalam tiga variasi penyajian, yaitu kopi hitam, kopi susu dan sanger. Kopi hitam dan kopi susu mungkin sudah sering kita temui di daerah-daerah lain di Indonesia, tapi Sanger adalah racikan yang khas dan orisinil dari Aceh.

Kopi Arabika vs Kopi Robusta

Untuk kopi jenis Arabika umumnya di dibudidayakan di wilayah dataran tinggi “Tana Gayo”. Aceh Tenggara, dan Gayo Lues. Sementara di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tanges dan Geumpang) dan Aceh barat lebih dominan dikembangkan jenis kopi Robusta.

Citra rasa yang terdapat di kopi-kopi ini berbeda, kopi arabika memiliki memiliki rasa yang agak asam dan tidak pahit terasa pahit serta  memiliki aroma yang khas serta dan harum . Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa rasa kopi Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Mountain.

Sementara, pada Kopi Robusta memiliki kadar kafein yang lebih tinggi daripada Arabika dan memiliki citra rasa yang lebih kuat. Kopi ini cocok di bagi penikmat kopi yang suka dengan rasa kopi yang lebih pekat dan memberikan sensasi kopi yang cenderung kuat.
Kopi robusta sendiri sekarang sudah jarang di budidayakan di aceh karena permintaan pasar pada kopi robusta rendah dan lebih besar pada kopi Arabica, seperti yang diutarakan Iman, Petani Aceh Tengah.

Jika dilihat dari strukturnya, kopi Arabika agak besar dan berwarna hijau gelap, daunnya berbentuk oval, tinggi pohon mencapai tujuh meter. Namun di perkebunan kopi, tinggi pohon ini dijaga agar berkisar 2-3 meter. Tujuannya agar mudah saat di panen. Pohon Kopi Arabika mulai memproduksi buah pertamanya dalam tiga tahun. Lazimnya dahan tumbuh dari batang dengan panjang sekitar 15 cm. Dedaunan yang diatas lebih muda warnanya karena sinar matahari sedangkan dibawahnya lebih gelap. Tiap batang menampung 10-15 rangkaian bunga kecil yang akan menjadi buah kopi.

Di daerah tersebut kopi ditanam dengan cara organik tanpa bahan kimia sehingga kopi ini juga dikenal sebagai kopi hijau (ramah lingkungan).

Kopi Luwak Aceh, Tak Kalah Nikmat
Selain Kopi Arabika dan robusta, ada kopi luwak yang tak kalah nikmat. Kopi luwak sudah sering terdengar di telinga penikmat kopi. Saat ini, sudah banyak merek produk kopi luwak yang bermunculan di pasaran. Kopi ini memiliki citra rasa yang istemewa.
Di aceh sendiri , kopi luwak telah berkembang, seperti yang diutarakan Iman, petani Kopi di Aceh Tengah. Kopi luwak di Aceh memiiki kelebihan dibandingan kopi-kopi luwak lainnya karena dihasilkan dari luwak-luwak liar yang memakan kopi di kebun secara bebas jadi mereka dapat memakan biji-biji kopi yang telah benar-benar matang sempurna. Luwak ini berbeda dengan luwak kandangan yang dapat diproduksi secara berkala.

Sebelum menghasilkan biji kopi luwak, luwak memakan biji kopi yang kemudian terjadi proses fermentasi dalam perut luwak dan kemudian luwak membuang kotoran, selanjuntnya dikumpulkan oleh orang leles yaitu orang yang mengais sisa biji kopi yang telah dimakan tikus maupun luwak.


Produksi kopi-kopi di Aceh ini telah berhasil diekspor ke berbagai negara, yaitu Amerika, Eropa, dan Asia. Kita patut bangga karena dapat menghasilkan produk alam dalam negeri yang tak kalah hebat dengan produk luar negeri. (rn)